(id) Harta Karun

Aku tidak suicidal, tapi kalau melihat data historis-anekdotal (dalam kata lain, adik-kakakku), kayaknya tidak aneh kalau aku tiba-tiba dijemput ajal.

Mengingat itu, aku punya suatu frasa khusus yang kerap kukatakan. Frasa ini kuutarakan ketika teman-teman bilang “Hati-hati di jalan ya” atau ucapan serupa ketika aku akan bepergian atau pulang.

Frasa itu adalah “Kalau aku meninggal, bilang ke Ibuku kalau aku punya simpanan di Bibit, ya.”

Aku tidak pernah secara eksplisit bilang ke orangtuaku aku punya rekening di bank mana saja. Namun, mereka bisa tahu hal itu dengan melihat ada kartu ATM apa saja di dalam dompetku (semoga dompetku utuh di jasadku). Dari sana mereka tinggal mengunjungi bank-bank tersebut dan menarik harta peninggalanku.

Beda halnya dengan uang yang kutitipkan di perusahaan fintech. Tentu saja mereka bisa menyimpulkan aku ada uang di mana dari melihat ponselku… itupun kalau mereka bisa membuka kunci layarnya (postingan relevan: “Kunci Pusaka Berangkas Digital”). Makanya aku berpikir aku harus menyiapkan sebuah wasiat yang mendetilkan hal-hal seperti ini.

Itu juga berasumsi bahwa perusahaan fintech ini punya protokol untuk mengalihkan aset dari akunku ke akun lain kalau bisa dibuktikan bahwa aku sudah tidak bernafas. Kalau beroperasi dengan “benar” karena diawasi OJK, aku rasa pasti ada. Meskipun demikian, mungkin lebih mudah kalau aku tulis saja semua password-ku di wasiat tadi. Lebih mudah dan cepat mencairkannya sendiri, dengan seakan-akan aku yang mengoperasikannya.

Hm. Aku jadi terpikir, mungkin ada orang di luar sana yang meninggal dunia, tapi perusahaan fintech atau bank tidak ada yang tahu. Apa uang dia jadi milik mereka saja? Atau ada protokol yang mengharuskan pengecekan rutin apakah nasabah mereka masih hidup atau tidak, dan kalau tidak, harus mereka carikan ahli waris untuk aset tersebut? Rasanya tidak mungkin. Rasanya negaraku tidak “selancar” itu.