(id) invalid

Beberapa tahun lalu, sekitar tahun kedua atau ketiga kuliah, aku mulai kagum (akogare?) dengan betapa kerennya teman-temanku yang tidak pernah kelihatan di medsos. Bukannya mereka tidak bisa sering akses internet karena hidup di hutan—kalau dikontak via LINE atau WhatsApp mereka akan jawab cepat—tapi ya (mungkin) karena tidak merasa perlu saja. Pokoknya, kenapa aku merasakan demikian terhadap orang-orang seperti itu… karena aku sadar orang-orang (atau mungkin hanya aku saja sih) yang banyak mengirim posting di medsos itu caper.

Pemikiran itu belakangan terngiang-ngiang kembali karena sering lihat siaran langsung pribadi gadis-gadis muda di TikTok. Influencer bukan, artis bukan, pegawai kafe juga bukan… Lalu untuk apa dong mereka go live kalau bukan caper? Begitu pula pikirku terhadap orang-orang yang tweet dan quote retweet banyak hal di Twitter, mengumandangkan pendapat pribadi mereka ke dunia padahal tidak ada yang tanya. Aku bilang begitu karena aku dulu begitu. Buat video ini itu lalu diunggah ke YouTube dan Instagram agar banyak yang lihat dan beri like. Enak memang dapat validasi.

Makanya aku jadi kagum dengan orang yang sama sekali tidak begitu. Terlihat stoic dan keren di mataku. Mereka hidup tanpa perlu orang lain, dan tanpa perlu memusingkan orang lain. Karena rasa kagum itu aku mulai meniru mereka. Kurang-kurangi posting di medsos. Tidak banyak cakap yang tidak perlu. Masih gagal, sih, karena aku masih sering cuit cuit tidak jelas di Twitter.

Namun, yah, kalau dipikir lagi, apa memang bagus begitu? Sebodoh-bodohnya video kocak (yang kalau aku lihat lagi sebenarnya tidak lucu-lucu amat. Orang-orang sopan saja padaku ya?) yang aku buat, setidaknya aku buat. Produktif, begitu. Sekarang aku tidak posting apa-apa tapi ya tidak membuat karya apapun juga. Sekarang aku jadi berpikir mungkin caper sedikit tidak masalah kalau bisa mendorong kita jadi melakukan sesuatu. Daripada hanya diam nangkring ikut bernafas-nafas saja.