(id) Bisnis di atas Kepercayaan

Aku biasa bepergian jauh naik kereta. Sayangnya, di masa korona seperti ini, jadwal kereta jadi sangat sedikit, Jakarta-Bandung saja cuma ada 2 jadwal. Infleksibilitas ini membuatku memilih naik travel, karena jadwalnya lebih banyak.

Rabu ini (pos ini ditulis di hari Senin) aku ada janji di Jakarta. Sialnya, hari Kamis adalah hari libur, dan Jumat terbawa jadi hari cuti bersama. Takut tidak dapat shuttle untuk pulang nanti, aku menyempatkan ke travel di Pasteur. Namanya Pasteur Trans. Tapi kalau dari Jakarta turun di Dipatukur. What the fu-

Sesampainya di sana aku duduk di depan meja operator lalu melakukan reservasi untuk hari Rabu nanti, perjalanan pergi dan pulang. Jam segini. Kursi nomor ini. Pulangnya juga. Jam segitu. Kursi nomor itu. Selesai. Aku ditanya nomor telepon, dan setelah kuberikan, dia langsung tahu namaku. Aku memang pernah memesan satu kali sebelumnya, ternyata mereka menyimpan nomor dan nama pelanggan di basis data mereka. Oke, tidak aneh. Aku mengeluarkan dompet dan menunggu si operator memberitahuku totalnya jadi berapa untuk dua kali perjalanan.

“Nanti saja bayarnya di hari H, saat mau berangkat.”

“Oh?” aku melongo sebentar. “Oke. Makasih a,” lanjutku, lalu aku pulang.

Aku sebenarnya tahu kalau reservasi bisa dilakukan lewat jarak jauh, via WhatsApp, tapi aku memilih untuk datang langsung karena lebih enak bicara langsung daripada menunggu pesanku dijawab di WA. Namun jadinya kaget on the spot dengan sistem reservasinya yang bisa bayar-nanti-aja-pas-mau-berangkat.

Kalau naik kereta, penumpang beli tiket dari jauh hari. Beli, bukan reservasi. Apalagi reservasi tanpa DP sedikitpun. Dengan begini, ketika si penumpang gagal muncul di waktu keberangkatan, perusahaan transportasinya tidak rugi.

Namun… kalau hanya sistem reservasi ala Pasteur Trans… kalau aku tidak nongol di jam berangkat mereka kehilangan satu penumpang ‘kan? Apa jadinya kalau bukan aku saja, tapi 20 orang lain juga melakukan hal yang sama? Dan kita semua masing-masing bukan hanya memesan satu kursi, tapi semua kursi yang ada di shuttle, pada jadwal yang berbeda-beda. Bisa jadi satu hari penuh pendapatan mereka jadi nol. Namun karena mereka mencatat nomor telepon, kejahatan ini mungkin jadi sukar diulang-ulang oleh orang yang sama, tapi yah, berarti setidaknya ada kesempatan melakukannya satu kali. Ya tidak juga siiih, mengingat betapa mudahnya dapat nomor telepon baru di negeri ini.

Di dunia pemrograman, aku diajari untuk menyiapkan aplikasi agar kebal dari inputan user yang jahat. Tahap pengamanan selalu dilakukan di atas anggapan kalau akan selalu ada user yang jahat, iseng, atau jahat sekaligus iseng. Pakem “jangan kasih celah pada pelanggan” ini sangat kuat aku pegang, tapi sistem reservasi Pasteur Trans ini bertabrakan dengan paradigma tersebut, makanya aku jadi “haAahHh.” Untuk sekelas kantin himpunan sih masih masuk akal, tapi untuk skala perusahaan transportasi sekelas Pasteur Trans, aku tidak yakin menjalankan bisnis di atas kepercayaan belaka seperti ini adalah ide yang bagus.