(id) Di Luar Negeri, Terang Tidak Panas

Ini pengalaman temanku yang sedang kuliah pertukaran pelajar di Jepang. Salah satu mata kuliah yang dia ambil adalah ibunka rikai (pemahaman lintas budaya), yang mana kalau dilihat dari namanya ya isinya tentang memahami budaya lain.

Satu waktu dosennya mengadakan diskusi kelompok terhadap studi kasus seperti ini: pada suatu siang, seorang karyawan kantor menyalakan lampu. Setelah melakukannya, teman sekantornya yang merupakan orang Indonesia memarahinya, lalu menyuruhnya mematikan lampunya lagi. Pertanyaannya: kenapa?

Mahasiswa-mahasiswa dari negara lain mencoba melontarkan jawabannya. Menghamburkan listrik, katanya. Terlalu terang, mungkin. Karena tidak ada yang tepat, sang dosen menyuruh temanku, yang merupakan orang Indonesia, untuk menjawabnya. “Karena panas?” jawabnya agak ragu. Dosennya mengiyakan, itulah jawaban yang benar. Mahasiswa lain kebingungan.

Di hari itu temanku baru tahu kalau gagasan “terang = panas” hanya ada di Indonesia (dan juga daerah serumpun, mungkin?). Setelah menceritakan hal ini kepadaku, dia menanyakan padaku kira-kira apa alasannya, jadi aku mencoba menjustifikasi pemikiran ini. “Ya iyalah panas,” kataku, “proses konversi energi listrik menjadi cahaya berakibat pelepasan kalor di udara.” Mungkin saja ini alasannya, karena sebagian besar energi yang dimakan lampu pijar hilang tidak jadi cahaya tetapi jadi panas. Tapi kan sekarang sudah zamannya LED…

Temanku kemudian memberitahuku kalau alasan kuatnya adalah karena perbedaan musim. Di Indonesia hanya ada dua musim, kemarau dan hujan. Ketika hujan, akan dingin dan gelap dari mendungnya awan. Ketika panas, akan terang karena tidak ada awan. Di negeri dengan empat musim, terang gelapnya cahaya di luar tidak dapat dikorelasikan dengan suhu karena di musim dingin, siang hari bisa saja sangat terang tapi suhunya tetaplah dingin.

Anjlok paradigmaku. Sekarang tiba-tiba pemikiran “terang = panas” jadi hal bodoh. Di ruang tengah rumahku ada dua lampu, satu lampu tembok yang tidak terlalu terang dengan satu lampu langit-langit yang lebih terang. Kalau sedang tidak membaca, ayahku selalu menyuruhku untuk menggunakan lampu tembok dengan dalih bahwa lampu langit-langit membuat ruangan jadi panas. Aku pun menurutinya karena that’s just how the world works, right? Padahal kalau dipikir lagi, mau pakai lampu yang manapun suhu ruangannya segitu-segitu saja.

Temanku pikir orang Indonesia memang merasakan panas dari terang cahaya, tapi bukan karena suhu sebenarnya melainkan karena sugesti di pikiran. Mungkin begitu. Aku, sih, punya pemikiran kalau ayahku tidak becus kalau beli bohlam, jadinya semua bohlam di rumahku menghasilkan panas berlebih karena tidak efisien dalam mengkonversi energi listrik.