(id) Musik dengan, dan tanpa Konteks
Aku baru saja menamatkan Persona 5 The Royal kemarin. Satu hal yang kufavoritkan dari game Jepang dibandingkan dari wilayah lain adalah background music mereka. Sangat mendukung suasana. Tentunya memukuli iblis emas setinggi 2 kilometer bareng teman-teman sekolahmu itu keren secara mendasar, tapi pastinya lebih asik kalau diiringi dendangan sepert ini.
Saat di Jepang kemarin aku diajak Makino-sensei mendengarkan konser musik klasik yang dimainkan mahasiswa-mahsiswi Universitas Kyoto (tidak kusangka tiket masuknya murah, hanya 1.000 Yen / Rp130.000. Aku kira yang seperti ini akan lebih mahal). Selama satu jam aku mendengarkan beberapa lagu (?): “Musica per Orchestra Sinfonica” oleh Akutagawa Yasushi, “Polovtsian Dances” dari opera “Pangeran Igor” oleh Alexander Borodin, dan “Pathétique” oleh P.I. Tchaikovsky. Ini kali pertama aku mendengar musik klasik secara serius dan sengaja.
Sebagai seorang EPIC GAMER tentu yang kupikirkan saat itu adalah, “wah, tidak ada vokalnya. Seperti backing music video game saja.” Memangnya begitu berbeda? Lagu yang digubah Nobuo Uematsu bagi serial Final Fantasy dan Yoko Shimamura bagi serial Kingdom Hearts bentuknya orkestral begitu-begitu kok. Tapi ketika membandingkan lagu klasik dengan musik video game, aku lebih suka yang kedua.
Kenapa, aku rasa karena aku lebih mengerti musik video game daripada lagu klasik. Kenapa lebih mengerti, aku rasa karena aku tahu konteks di balik musiknya, jadi aku bisa tahu apa yang ingin lagu itu sampaikan.
Pada game New Danganronpa V3: Killing Harmony, “Trial Underground” diputar saat dalam sesi persiapan sidang. Awalannya yang rendah dan terus naik menyampaikan rasa ketegangan yang perlahan terasa, menuju saat-saat dibukanya sidang.
“Class Trial - Dawn Edition” diputar saat persidangan dibuka. Dibanding lagu sidang yang lain, yang ini santai, menandakan anggota sidang masih berdiskusi dengan kepala dingin, tapi rasa tegang masih terasa mengingat sidangnya diadakan karena ada teman mereka yang mati dibunuh.
“Discussion -BREAK-“ diputar saat diskusi memanas, dengan orang-orang melontarkan argumen-argumen mereka, yang pemain bisa patahkan kalau dirasa ada kejanggalan. Tensinya naik karena selain para tokoh berargumen, pemain sekarang tidak lagi pasif, tidak hanya membaca dialog namun harus memperhatikan kata-kata yang para tokoh katakan dan membalas argumen yang tidak sesuai fakta.
Lagu-lagu itu keren buatku, tapi aku yakin aku pikir begitu karena aku tahu konteksnya. Kapan lagu itu diputar dan kenapa. Setiap mendengarkannya, aku bisa membayangkan apa yang terjadi karena lagu-lagu tersebut adalah bahan pendukung visual dan cerita yang disampaikan game-nya.
Aku punya pemikiran kalau konteks pada musik game itu sangat penting, dan mereka hanya bisa dinikmati secara maksimal kalau kita sudah pernah bermain game-nya. Beberapa waktu lalu saat mengerjakan tugas pembuatan video, aku meminta saran pada teman sekelompokku, minta dipilihkan background music yang sekiranya bisa cocok. Dia menyodorkan banyak lagu, beberapa darinya adalah musik dari game Legend of Mana.
Aku belum pernah main Legend of Mana. Ketika kudengarkan musiknya, aku tidak merasakan apa-apa. Lagu-lagu itu bagiku tidak bagus, mungkin jelek. Ini yang membuatku berpikir kalau konteks itu penting bagi lagu video game: karena tidak ada lirik, pengalaman kita akan situasi yang terjadi pada game itulah yang menghantarkan makna yang ingin dibawa musiknya, jadinya kita ngeh dan lebih menikmati lantunannya.
Jadi, kasus musik Legend of Mana tersebut kurasa sama dengan ketika aku mendengarkan konser musik klasik waktu itu. Aku tidak mengerti musiknya. Bagian awal “Musica per Orchestra Sinfonica” membuatku merasa musik ini memiliki rasa playful, namun saat masuk menit kedua, suasananya jadi terasa kelam, dan ketika masuk bagian allegro di menit 5, instrumennya jadi sering meledak-ledak. Tanpa konteks, aku tidak tahu apa yang ingin lagunya sampaikan, dan apakah karya seni tanpa arti?
Mungkin aku bukan tipe orang yang menikmati musik sebagai musik, tapi sebagai alat bantu pendukung suasana. Ada temanku yang menghantarkan lagu langsung ke telinganya menggunakan headphone, tutup mata, lalu hanyut dalam melodinya. Kalau aku, kuputar “Rivers in the Desert” agar aku bisa merasakan lagi adrenalin, keseruan, dan semangat yang kurasa ketika menggebuk politikus botak berotot yang ingin jadi perdana menteri Jepang di masa lalu… hal yang tidak mungkin kurasa kalau belum memainkan game-nya.