(id) Sastra, Jepang

Dasarnya aku orang yang kurang cerdas. Itu berita lama, tidak perlu dijelaskan lagi. Yang ingin kusampaikan adalah: salah satu hal yang paling bodoh yang telah kulakukan adalah masuk ke jurusan Sastra Jepang padahal tidak bisa membaca (kalau soal kenapa aku bisa lolos masuk perguruan tinggi negeri, itu kebodohan dari sisi LTMPT).

Membaca suatu wacana dan mengambil kesimpulan dari dalamnya mungkin mudah saja. Sayangnya, jurusanku bukan Wacana Berita Koran Jepang, melainkan Sastra Jepang. Tingkat literasiku benar-benar sangat rendah ketika membaca fiksi terjemahan dari bahasa Jepang. Dan non-fiksi juga. Dan fiksi dan non-fiksi yang bukan bahasa Jepang juga. Semua, pokoknya.

Pelajaran Bahasa Indonesia di SMP: Unsur instrinsik cerpen. Tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, amanat. Iya sih, cerpen, tapi kurasa, setidaknya 7 hal tersebut, berlaku bagi semua hal yang ada narasinya. Film dan video game misalnya. Kalau novel mungkin sudah pasti.

Sayangnya, setiap setelah tuntas membaca beberapa cerpen dan satu novel, aku hanya tertegun, kebingungan. “Temanya apa? Apa yang ingin penulis sampaikan?? Apa sih yang baru saja kubaca???”

Mataku memindai huruf-huruf yang tercetak di buku, lalu otakku berusaha keras membayangkan apa yang terjadi. Ada ini-itu, terjadi ini-itu. Lalu setelahnya ada itu-ini, terjadi itu-ini. Narasi memang begitu, bukan? Prosa berbentuk serangkaian adegan yang runtut. Kalau diperhatikan, nanti kita bisa melihat garis besarnya dan mengerti apa yang terjadi.

Ternyata tidak bisa. Padahal orang lain bisa memahami karya-karya yang kubaca tadi dan menilainya bagus. Ergo, akunya saja yang tolol.

Karya sastra Jepang yang pertama kucoba baca adalah karya dari Haruki Murakami, berjudul Dengarlah Nyanyian Angin. Sekarang ingatanku sudah samar-samar dan tidak yakin lagi isinya apa–pokoknya si karakter utama punya teman, si Nezumi, lalu punya kekasih juga. Hidup berjalan, terjadi beberapa hal yang biasa terjadi dalam kehidupan, kemudian ceritanya selesai. Oh, juga disebutkan banyak judul lagu dan buku Barat, semuanya belum pernah kudengar dan kubaca.

Amanat memang biasanya tersirat–dan kurasa juga memang bagusnya begitu, karena kalau tertulis malah kesannya menggurui–tapi sedihnya otakku tidak cukup besar untuk menangkap apa yang ingin Haruki Murakami sampaikan. Aku juga tidak tahu harus punya perasaan apa ketika dan setelah membacanya.

Novelnya tidak panjang, tapi aku yang patah semangat memutuskan untuk membaca cerpen saja. Harusnya kalau lebih pendek, aku bisa mudah menangkap isinya, pikirku. Entah itu lompatan logika dari mana. Selanjutnya kucoba baca cerpen berjudul Lalat karya Riichi Yokomitsu. Cerita itu awalnya mengisahkan tentang cerita hidup orang-orang datang ke stasiun kereta kuda, ingin menaikinya dan pergi ke kota. Ada ibu yang khawatir tentang kesehatan anaknya di kota, lalu ada sepasang kekasih yang kawin lari, dan sebagainya. Saat akhirnya kereta kuda itu berangkat, seekor lalat hinggap di atapnya. Di perjalanan, supir kereta kudanya tertidur, dan oleh sebab itu kereta kudanya jatuh di tebing, menewaskan semuanya kecuali si lalat yang melayang pergi.

Yang bisa kutarik hanyalah kalau Yokomitsu Riichi ingin menggambarkan bahwa walaupun manusia sudah hidup lama dengan segala kompleksitas terjadi di kehidupannya, mereka bisa dengan mudah mati begitu saja. Itupun aku tidak yakin benar. Kalau hanya itu yang ingin disampaikan, kenapa harus ada cerita tentang seorang ibu yang khawatir pada anaknya? Kenapa harus ada pasangan kawin lari? Di hal-hal seperti itu pasti ada yang ingin penulis sampaikan juga, tapi lagi-lagi aku gagal memahaminya. Padahal cerpennya memang pendek, tapi aku masih tidak bisa menangkap isinya.

Paling baru kubaca adalah Lukisan Neraka oleh Ryunosuke Akutagawa. Singkatnya, ada pelukis mahir yang sangat sombong diminta oleh seorang Pangeran Besar untuk menggambar lukisan neraka. Salah satu bagian lukisan yang ia ingin gambar tapi tidak bisa adalah adegan di mana seorang wanita menjerit, tersiksa di dalam kereta kuda yang terbakar api. Untuk menggambarnya, si pelukis memohon pada Pangeran Besar untuk memperlihatkannya adegan itu dunia nyata, dan si Pangeran Besar mengabulkannya. Kejutan, wanita yang dibakar di dalam kereta kuda adalah anak perempuan kesayangan si pelukis itu sendiri. Si pelukis menyelesaikan lukisan nerakanya, kemudian mati gantung diri. Semua orang yang melihat lukisan itu merasakan kengerian luar biasa. Begitu ceritanya.

Sekilas, setidaknya kalau hanya membaca ringkasan buatanku, amanatnya adalah kalau kau sombong dan suka minta aneh-aneh seenak jidat, nanti ada balasannya. Tapi, aku yakin bukan itu. Kalau coba baca sendiri, pasti akan sampai pada kesimpulan lain, dan bisa mengambil amanat yang sebenarnya. Kalau tidak bisa, ya paling akan jadi seperti aku: kebingungan karena tahu ada hal yang ingin penulis sampaikan dengan cerita ini, tapi tidak tahu apa.

Ya, sekian saja tulisanku untuk pos yang ini. Karena ini bukan sastra, jelas benar apa yang ingin aku sampaikan, ‘kan? Andaikan sastra juga semudah ini, mungkin aku akan lebih sering ke perpustakaan. Mungkin.

ʸᵃ ᵗᵉⁿᵗᵘ ᵗᶦᵈᵃᵏ ᵏᵃʳᵉⁿᵃ ᵃᵏᵘ ˡᵉᵇᶦʰ ˢᵘᵏᵃ ᵐᵃᶦⁿ ᵍᵃᵐᵉ ᵈᶦ ʳᵘᵐᵃʰ